Bukan Suara dari Podium, Tapi Suara dari Tanah yang Retak
Kompas.tv, Kami bukan datang membawa titipan dari kekuasaan. Kami datang membawa ruang untuk cerita yang tak pernah diminta hadir dalam rapat penting atau pidato panjang. Di kampung-kampung yang listriknya masih padam dan air bersih harus diangkut berkilo-kilometer, kami temukan kehidupan yang selama ini berjalan tanpa kamera, tanpa mikrofon, dan tanpa tepuk tangan.
Mereka Tak Pernah Diwakili, Tapi Selalu Berjuang Sendiri
Tak ada yang mewakili suara mereka saat kebijakan diputuskan. Tapi mereka tetap bekerja dari subuh, tetap mengajar meski ruang kelas rusak, tetap menanam meski tak tahu harga panen besok. Mereka tak pernah merasa mewakili siapa pun — hanya keluarga, tetangga, dan tanah yang mereka cintai. Dan justru di sanalah kekuatan itu tumbuh: dari kehidupan yang diam-diam menyelamatkan bangsa ini dari bawah.
Tak Ada Logo di Baju Mereka, Hanya Bekas Peluh dan Debu Jalan
Kami tak melihat lambang instansi atau bendera lembaga. Yang kami lihat adalah tangan-tangan kasar yang tetap mengulurkan bantuan, kaki-kaki kecil yang tetap menyeberangi sungai untuk sekolah, dan dapur yang tetap mengepul meski isinya terbatas. Mereka nyaris tak terlihat, tapi merekalah denyut yang membuat negeri ini terus hidup—dalam diam.
Kami Datang untuk Menyampaikan, Bukan Mewakili
Kami tahu batas kami. Kami bukan pengganti kebijakan, bukan pembawa solusi instan. Tapi kami datang untuk memastikan satu hal: bahwa mereka yang tak punya jalur bicara tetap punya suara. Suara yang kami dengar langsung, yang kami bawa pulang, dan yang kami sampaikan kepada siapa saja yang masih bersedia mendengarkan. Karena kehidupan mereka terlalu nyata untuk terus diabaikan.