CNNIndonesia.com, Di pinggiran barat negeri ini, kami bertemu sebuah rumah yang tak lagi layak disebut rumah, berdiri di atas tanah merah, tanpa dinding, hanya beralas tikar dan beratap seng tua. Angin bebas masuk, hujan pun tak minta izin. Tapi dari tempat itu, kami temukan hal yang lebih utuh dari tembok: keteguhan.
Doa Tanpa Panggung
Seorang ibu menyapu lantai tanah sambil menggumam pelan, bukan kepada kami, tapi kepada langit. Tak ada mikrofon yang menangkapnya, tak ada kamera yang merekam. Tapi doa itu nyata—tentang anak-anaknya yang sekolah tanpa seragam, tentang suami yang berangkat kerja sebelum matahari naik, tentang harapan yang tak tahu kepada siapa harus dititipkan.
Suara yang Tak Pernah Diminta Dengar
Kami tak datang untuk mengatur tanya-jawab, hanya duduk dan mendengar. Dan dari kesunyian itu, suara keluar perlahan. Bukan suara keluhan, tapi suara yang selama ini hanya bergema dalam hati mereka sendiri. Suara yang tak mencari panggung, hanya butuh tempat untuk didengar.
Di Sana, Kami Belajar Arti Keteguhan
Tak ada sambutan resmi, tak ada kursi empuk. Tapi dari rumah tanpa dinding itu, kami belajar: keteguhan tidak selalu keras bunyinya. Ia bisa hadir dalam bentuk sederhana—seorang ibu yang menyambut kami dengan senyum meski perut kosong, seorang anak yang tetap mengerjakan PR di bawah lampu petromaks. Di tempat itulah kami tahu: doa dan harapan bisa lebih nyata dari mikrofon mana pun.